Tanpa Insentif, Investor Tetap harus Kembangkan EBT

Jakarta, MinergyNews– Pemerintah meminta investor energi baru terbarukan (EBT) untuk komitmen mengembangkan energi baru terbarukan tanpa menunggu pemberian insentif dari pemerintah.

“Kalau bisa diusahakan tidak perlu menunggu insentif, yang perlu itu bagaimana menjual listrik dengan harga yang kompetitif,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan belum lama ini di Jakarta.

Menurut Jonan, pihaknya saat ini membuka seluas – luasnya kesempatan kepada badan usaha swasta untuk mengembangkan dan menjual listrik kepada masyarakat dengan harga kompetitif.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi menjelaskan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) pasal 9 butir f.1 disebutkan tercapainya bauran energi primer yang optimal, pada tahun 2025 peranan energi baru dan energi terbarukan (EBT) paling sedikit 23 persen dan pada tahun 2050 paling sedikit 31 persen sepanjang keekonomiannya terpenuhi.

“Namun yang perlu diingat dan dicatat target ini dari seluruh jenis EBT dan bukan dari listrik saja,” kata Rinaldy.

Rinaldy menjelaskan, dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) nomor 12 tahun 2017 artinya seharusnya insentif berpindah dari hilir ke hulu. “Ini tantangan yang harus dilakukan pemerintah agar upaya harga biaya pokok produksi (BPP) pada sisi investor berkurang agar masuk pada batas 85 persen yang ditetapkan dalam feed in tarif (FIT),”tambahnya.

Tantangan yang harus dihadapi Pemerintah dalam kebijakan penetapan tarif 85 persen dari biaya pokok produksi (BPP), lanjut Rinaldy, yaitu investor akan kurang berminat membangun energi terbarukan di daerah BPP rendah, kemudian terjadi perlambatan pengembangan energi terbarukan di daerah yang BPP nya rendah dalam hal ini di Pulau Jawa, dan terakhir pencapaian target energi terbarukan tidak akan linier lantaran akan ada perlambatan diawal.

“Tantangan diatas hanya sampai tahun 2030, karena setelah itu harga energi terbarukan akan lebih murah dari energi fosil, oleh karena itu kebijakan pendukung hanya diperlukan sampai tahun 2030 setelah itu tidak diperlukan lagi,” paparnya.

Namun disisi lain, lebih lanjut Rinaldy mengungkapkan, dibalik tantangan yang harus dihadapi Pemerintah juga ada manfaat dari penerapan 85 persen dari BPP antara lain semua listrik energi terbarukan akan terserap, lalu efisiensi PLN dan investor akan meningkat, harga listrik tertahan laju kenaikannya, pembangunan energi terbarukan bergeser ke luar pulau Jawa, pembangunan listrik di daerah pedesaan terpicu serta merubah mind – set pembangunan energi dari sisi supply ke sisi demand. “Terpenting, pembangunan listrik nasional bisa merata,” pungkasnya.   (us)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *