Jakarta, MinergyNews– Pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang pesat menyebabkan produksi sampah plastik di Asia Tenggara melonjak hingga 31 juta ton pada 2021 (We Are Forum, 2023). Permasalahan sampah plastik makin menjadi disebabkan sifat sampah plastik yang tidak dapat terurai, hanya terpecah menjadi bagian yang lebih kecil atau disebut mikroplastik.
Mikroplastik adalah partikel plastik kecil berukuran kurang dari 5 mm. Akumulasi mikroplastik menimbulkan konsekuensi serius bagi kehidupan laut, ekosistem, dan lingkungan karena hanya 9% sampah plastik yang di daur ulang (We Are Forum, 2023). Global Waste Management United Nations (2024) mencatat bahwa Asia Tenggara menyumbang hingga 60% dari total mikroplastik di lautan global, yang telah terdeteksi di ekosistem perairan, baik di laut dangkal maupun sedimen pantai.
Untuk itu, tiga institusi pendidikan tinggi di Asia Tenggara bekerja sama dalam penelitian kolaboratif guna menangani isu mikroplastik. Terdiri dari Universitas Pertamina (UPER) melalui program studi Teknik Lingkungan, Asian Institute of Technology (AIT), dan Ho Chi Minh City University of Industry and Trade (HUIT), yang didanai oleh Asia-Pacific Network (APN) for Global Change Research.
Dalam pembukaan forum penelitian ‘Enhancing the Science-Policy Interface to Manage Microplastic Influx from Major Cities into the Oceans in Southeast Asia’ di Universitas Pertamina pada 9 Oktober 2024, Prof. Rr. Erna Sri Adiningsih, Direktur Eksekutif INASA, sekaligus perwakilan APN di Indonesia, menegaskan pentingnya diskusi tentang penanganan mikroplastik yang secara tidak langsung berdampak pada kesehatan manusia.
“Laporan Our World in Data (2021) mendapati sebanyak 81% sampah plastik masuk ke laut Asia, khususnya di kawasan Asia Tenggara yang menjadi hotspot dalam berlabuhnya sampah plastik tersebut. Sayangnya sampah ini tidak dikelola dengan baik. Akibatnya mencemari biota laut dan mengontaminasi sumber pangan manusia,” ungkap Prof. Erna.
Dr. Wenchao Xue dari Asian Institute of Technology, Thailand, sebagai Project Leader, memaparkan tujuan riset untuk mengatasi ancaman lingkungan akibat mikroplastik dengan mengembangkan sistem komprehensif.
“Sampah mikroplastik di Asia Tenggara adalah masalah yang mengkhawatirkan. Diharapkan kolaborasi penelitian antara tiga perguruan tinggi dari tiga negara dapat menghasilkan solusi efektif untuk mengatasi isu ini. Dengan demikian, kami berharap dapat menciptakan sistem yang ideal untuk mengukur masuknya mikroplastik ke dalam perairan,” ungkap Dr. Wenchao.
Proyek kolaborasi riset terkait mikroplastik di perairan Asia Tenggara akan dilaksanakan melalui skema Collaborative Regional Research Programme (CRRP) dengan dana sebesar 1,4 miliar rupiah. Penelitian ini akan dilakukan di Indonesia, Thailand, dan Vietnam, dimulai dengan meninjau hasil penelitian sebelumnya. Riset ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menyelaraskan temuan dengan kebijakan dan situasi lapangan, berlangsung selama dua tahun.
Melihat pentingnya pengelolaan mikroplastik ini, Dr. Simon Guerrero Cruz, Assistant Professor dari Asian Institute of Technology (AIT), Thailand, sebagai partisipan riset juga menyebutkan bahwa mikroplastik tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan namun turut berdampak pada produksi gas rumah kaca.
“Hasil riset menunjukkan bahwa mikroplastik dapat mengganggu siklus karbon di lautan dengan mempengaruhi mikroorganisme yang berkontribusi pada serapan dan penyimpanan karbon. Sebagai alternatifnya ekosistem mangrove yang memiliki ekologi kompleks, dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme. Sehingga, keberadaan mangrove dan mikroorganisme dapat membantu menguraikan mikroplastik dan menurunkan emisi gas rumah kaca,” pungkas Dr. Cruz.
Sejalan dengan Dr. Cruz, partisipan riset lainnya yaitu Dr. Thi-Kim-Quyen Vo dari Ho Chi Minh City University of Industry and Trade di Vietnam, serta Mutita Wattanasuk dari Asian Institute of Technology, Thailand, mengungkapkan bahwa masing-masing negara saat ini tengah melakukan eksplorasi mikroplastik di berbagai wilayah untuk memahami pengelolaan sampah mikroplastik.