Jakarta, MinergyNews– PT PLN (Persero) tidak berdaya menerima klausul take or pay atau kewajiban membeli listrik yang diproduksi pembangkit swasta dalam kontrak jual-beli dengan BUMN tersebut. Pasalnya, diatas kertas skema jual beli listrik ini tidak efisien.
“Kalau kita seksama melihat, ada tekanan ke PLN. Bisa jadi ada kolusi antara penguasa dan pengusaha sehingga PLN mau tidak mau harus melaksanakan klausul ini. Sama halnya dengan pembelian solar atau gas, PLN beli lebih mahal karena disana banyak kepentingan,” ujar Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Marwan Batubara belum lama ini di Jakarta.
Marwan mengungkapkan, dengan peran perusahaan BUMN yang lebih dominan dalam penyediaan listrik di Indonesia, maka harga listrik bisa menjadi lebih murah dibanding dengan yang terjadi saat ini, terutama dengan skema Take or Pay yang mengharuskan PLN membeli listrik dari pihak swasta/IPP.
“Ini harus ada keberanian dan konsistensi dari pemerintah. Jangan malah PLN itu dibuat tidak mampu dan memberi kepada swasta untuk membangun,” katanya.
Namun, menurut Marwan, skema take or pay sebenarnya sah-sah saja sepanjang itu diterapkan secara obyektif dan tidak merugikan salah satu pihak.
“Tetapi yang terjadi pada kasus PLTU Bukit Asam itu harus ditolak dengan tegas, karena hal itu sangat merugikan dan mengerdilkan peran PLN sebagai perusahaan milik negara. Seharusnya Pemerintah membatasi peran swasta dan lebih memperhatikan PLN,” tuturnya.
Marwan menambahkan, seharusnya swasta diarahkan untuk tidak membangun pembangkit di daerah-daerah yang sudah ada pembangkit PLN, apalagi dengan menerapkan skema take or pay 100 persen karena hal itu pasti akan mengorbankan PLN.
“Kalau take or pay 60 atau 70 persen masih oke, tapi kalau 100 persen jangan harus ditolak karena ujung-ujungnya nanti malah rakyat yang menanggung bebannya,” pungkasnya. (us)