Jakarta, MinergyNews– Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyodorkan Production Sharing Contract (PSC/kontrak bagi hasil) Blok East Natuna kepada konsorsium Pertamina, ExxonMobil, dan PTT sejak bulan Oktober 2016 yang lalu.
Konsorsium tersebut telah ditawari bagi hasil minyak sebesar 40%. Tapi, sampai hari ini PSC belum ditandatangani. Pasalnya, ada banyak hal yang masih perlu dinegosiasikan pemerintah dengan konsorsium.
Sebagai informasi, lokasi Blok East Natuna termasuk dalam 9 garis batas (nine dash line) di Laut China Selatan yang diklaim China sebagai wilayahnya. Maka blok yang memiliki cadangan gas sebesar 46 triliun kaki kubik (TCF) ini harus segera digarap untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia.
Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas), IGN Wiratmaja, pembahasan syarat dan ketentuan kontrak baru akan selesai pada akhir 2017 ini. Artinya, PSC East Natuna belum akan ditandatangani pada tahun ini.
“T&C (Terms and conditions/syarat dan ketentuan) East Natuna akhir tahun ini selesai,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta.
Wiratmaja menjelaskan, sebelumnya, pemerintah ingin mendahulukan pengembangan minyak (struktur AP) dulu di East Natuna. Tapi sekarang pemerintah mempertimbangkan untuk mengembangkan minyak dan gas sekaligus.
Namun, tambahnya, pengembangan gas di struktur AL harus menunggu dulu hasil kajian mengenai teknologi yang cocok untuk pengembangan gas di sana, serta bagaimana pemasarannya (Technology and Marketing Review/TMR).
“Tadinya kita pinginnya yang minyak dulu, struktur AP dulu, tapi banyak hal yang harus dibahas, jadi belum bisa dimulai. Ada pertimbangan digabung (dengan gas),” tuturnya.
Namun, lanjutnya, PSC East Natuna kemungkinan akan menggunakan skema gross split, tidak menggunakan cost recovery lagi. “Semua kontrak baru nanti pakai gross split. Kalau PSC baru pasti gross split,” tandasnya. (us)