Jakarta, MinergyNews– Pemerintah sedang merumuskan Revisi Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara. Ini merupakan revisi keempat dari aturan turunan UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Dalam Suratnya Kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar menyebut 11 poin yang ada adalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Selain terkait divestasi dan perusabahan status KK dan PKP2B menjadi IUPK OP, Surat dikirim tanggal 28 Desember 2016 berisi kebijakan hilirisasi khusus terkait ekspor konsentrat atau produk hasil olahan.
Dari Surat tersebut, Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) menilai kebijakan ini malah keluar dari semangat hilirisasi tersebut dan hanya menguntungkan perusahaan tambang asing di Indonesia.
Di pada poin 7 dinyatakan bahwa penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam jumlah dan jangka waktu tertentu tidak berlaku bagi komoditas mineral logam nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan kromium. Sementara komoditi tembaga masih diperkenankan mengekspor produk olahan.
“Padahal sejauh ini perusahaan tambang tembaga seperti PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (dulu Newmont Nusa Tanggara) belum menunjukkan komitmen membanggun smelter tembaga,” ujar Ketua AP3BI Erry Sofyan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (10/1).
Dan di RPP yang baru perusahaan pemegang Kontrak Karya masih boleh mengekspor hasil olahan hanya dengan syarat berubah menjadi Izin Usaha Produksi Khusus Operasi Produksi. “Ada ketidakadilan dalam penerapan kebijakan. Kami menduga kebijakan ini hanya untuk mengakomodir kepentingan pihak tertentu dalam hal ini perusahaan tambang asing,”kata Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Erry Sofyan.
Sementara terkait dengan penerapa bea keluar yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membangun smelter oleh BUMN yang ditunjuk Pemerintah seperti di point ke 8 dan 9. Mengapa bukan para pelaku usaha komoditas ini yang membiaya mereka sendiri. Tinggal Pemerintah memberi fasilitas insentif fiskal dan non fiskal untuk mendukung percepatan pembangunan fasilitas pemurnian khusus untuk komoditas yang dilarang eksport ini.
“Pemerintah setidaknya memberi kesempatan kepada para pelaku usaha di bidang komoditas mineral untuk membangun smelter namun dengan memberi kesempatan mengeksport dalam jangka waktu tertentu,” tandasnya.
Secara khusus terkait dengan Bauksit dibutuhkan kajian khusus. Dengan cadangan yang besar sementara permintaan domestik untuk produk olahan bauksit masih terbatas maka ekspor terbatas seharusnya bisa diberikan.
Hal ini juga akan membantu negara untuk mendapat pemasukan devisa. Saat ini harga bauksit global sebesar US$ 30 per ton. Jika setiap tahun diperkenankan dieskpor sebanyak 40 juta ton per tahun maka negara akan mendapat tambahan devisa senilai US$ 1,2 miliar. Bandingkan jika hanya dikenakan bea keluar (ekspor) senilai US$ 5 per ton, negara hanya mendapat US$ 200 juta per tahun.
Bagaimana dengan keamanan pasokan bahan baku untuk smelter bauksit? Data Kementrian ESDM menyebutkan bahwa sumberdaya bausit Indonesia yang mencapai 7,5 miliar ton dan cadangan sebesar 3,2 miliar ton. Jika diasumsikan setiap tahun ekspornya sebesar 40 juta ton maka selama lima tahun sebesar 200 juta ton. Maka cadangan bauksit nasional untuk Industri Alumina dengan kebutuhan dalam negeri 6 juta ton per tahun masih bisa bertahan 503 tahun.
Oleh karenanya kecemasan akan kemanan pasokan bahan baku untuk industri smelter dalam negeri khusus untuk bauksit mengada-ada.
APB3I juga melihat, dampak dari kebijakan larangan ekspor sejak 12 januari 2014 sangat dirasakan daerah penghasil bauksit seperti Kalimantan Barat. Negara selama ini telah kehilangan potensi devisa sebesar Rp. 18,9 triliun/tahun dan pajak dan PNBP sebesar Rp. 6.3 triliun/tahun. Kemudian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalimantan Barat yang merupakan tempat deposit bauksit terbesar di Indonesia juga pada tahun 2014 menjadi 5,02%, dari sebelumnya 6,04% di tahun 2013.
Sementara Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirus) Budi Santoso menilai RPP yang dibuat Kementrian ESDM terkesan tergesa-gesa dan hanya untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak saja.
“Pemerintah sebaikanya melihat perubahan PP tidak sesederhana point-point tersebut. Slasan lima tahun sebaiknya diuraikan dalam kajian. Sebaiknya Pemerintah melihat fundamental permsalahan kenapa hilirisasi tidak berjalan dan bagaimana affirmative action yang konprehensif bukan hanya tambal sulam,” kata Budi.
Menurut dirinya, Pemerintah harus memperlakukan sama untuk semua komoditi dan juga pelaku usaha. Jangan ada perbedaan perlakuan antara perusahaan pemegang Kontrak Karya dengan Perusahaan Pemegang IUP.
Ketika ditanya tentang apakah komoditi lain seperti nikel dan tembaga pelu diberi kelonggaran ekspor, Budi menilai Pemerintah perlu melakukan itu dengan beberapa pertimbangan. “Saya kira Pemerintah harus memberlakukan ke komoditi yang lain (nikel dan bauksit) dengan syarat terbatas dan hanya sebagai emergency exit,” katanya.
Budi kemudian menyebut ketiga syarat tersebut adalah ekspor hanya untuk mem back-up kondisi finansial perusahaan, diberikan hanya pada perusahaan yang sudah dan sedang membangun smelter dan tentu saja memiliki cadangan yang cukup. “Jangan sampai pembatasan mineral seolah-olah hanya untuk pihak tertentu “kata Budi mengingatkan.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Suwandi Wiratno berharap agar regulasi yang diterbitkan ramah pada investasi. “Kami mendukung agar dilakukan kegiatan peningkatan nilai tambah agar tidak ada mineral lain yang juga terkirim. Namun kalau dilihat perkembangan selama ini pembangunan smelter juga masih mengalami masalah,” kata Suwandi.
Menurutnya selama ini pembangunan smelter masih mengalami masalah karena harus juga membangun infrastruktur mulai dari listrik, jalan sampai pelabuhan. “Jika ingin mendorong pembangunan smelter infrastruktur pendukung juga harus dipikirkan. Atau bisa juga Pemerintah memberi kelonggaran ekspor untuk membantu perusahaan segera menyelesaikan pembangunan smelter,”katanya.
Namun menurut Suwandi jika relaksasi diberikan, perusahaan harus juga serius membangun smelter dengan menyisihkan uang hasil penjualan mineral.
Suwandi mengakui kebijakan larangan ekspor yang diterapkan pada tahun 2014 silam berdampak pada perusahaan-perusahaan pembiayaan. “Ini karena dampak dari kebijakan tersebut banyak perusahaan tambang yang tutup sehingga turut mempengaruhi kinerja kami,” tandasnya. (us)