SP FKPPA Minta Presiden Jokowi Cabut Kepmen BUMN No.SK-198/MBU/06/2020

Jakarta, MinergyNews– Dengan terjadinya berbagai perubahan yang cepat di dalam tubuh PT Pertamina (Persero) belakangan ini, telah membuat Serikat Pekerja Forum Komunikasi Pekerja dan Pelaut Aktif (SP FKPPA) Pertamina kecewa.

Perubahan-perubahan yang terjadi mulai dari pergantian susunan Direksi PT Pertamina (Persero) berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No.SK-198/MBU/06/2020 tentang Pemberitahuan Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina.

Selain itu, menurut Ketua Umum SP FKPPA, Nur Hermawan, mengenai dengan adanya rencana pembentukan organisasi Holding dan Subholding Migas melalui surat keputusan Direksi PT Pertamina (Persero) No. Kpts-18/C00000/2020-S0 tentang Struktur Organisasi Dasar PT Pertamina (Persero). Hingga kepada rencana Direksi PT Pertamina (Persero) untuk melakukan IPO (Initial Public Offering) atau penawaran saham perdana terhadap 2 subholding dalam tempo 2 tahun ke depan.

“Serikat Pekerja Forum Komunikasi Pekerja dan Pelaut Aktif (SP FKPPA) menyatakan sikap menolak pembentukan Holding dan Subholding Migas dan privatisasi Subholding Migas melalui IPO serta menuntut agar Keputusan Menteri BUMN No. SK-198/mbu/06/2020 tersebut segera dicabut,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (3/6).

Nur Hermawan mengungkapkan, instruksi Menteri BUMN untuk pembentukan Holding dan Subholding Migas merupakan langkah awal privatisasi PT Pertamina (Persero) di mana hal tersebut sangat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 terutama ayat 2 dan 3 yang sudah sangat jelas menyebutkan bahwa negara memiliki kekuasaan atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.

“Pembentukan Holding dan Subholding Migas dan rencana IPO juga tidak sejalan dengan UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas dan UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN di mana penguasaan oleh negara wajib diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, dan Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam secara tegas dilarang untuk diprivatisasi,” tuturnya.

Sementara itu, dirinya menegaskan bahwa pembentukan Holding dan Subholding Migas hanyalah akal-akalan agar bisa melakukan IPO pada kegiatan Pertamina yang tidak mungkin dilakukan pada induk usaha PT Pertamina (Persero).

“Maka dipecahlah bisnis-bisnis utama Pertamina menjadi sub holding agar bisa dijual, dan sangat berpotensi dimiliki oleh asing, seperti Telkomsel sebagai anak perusahaan Telkom yang 35% sahamnya dimiliki Singtel yang merupakan perusahaan asing asal Singapura). Apabila ini terjadi pada sektor energi, maka sudah sangat jelas mengebiri Kedaulatan Energi Indonesia,” imbuhnya.

Menurut dirinya, pembentukan Holding dan Subholding Migas sebenarnya bukan bertujuan untuk efisiensi, namun sebaliknya akan menambah beban biaya dengan banyaknya direksi dan komisaris pada perusahaan Subholding dan Sub–Subholdingnya.

“Belum lagi setiap transaksi antar perusahaan juga akan dikenai pajak yang mengakibatkan biaya tinggi dan berujung naiknya harga jual di pasaran,” cetusnya.

Selain itu, dirinya menuturkan, pemisahaan unit bisnis dari hulu ke hilir menjadi perusahaan yang terpisah-pisah juga akan membentuk silo-silo yang semakin menyulitkan koordinasi operasional antar unit dan membuat benturan kepentingan bisnis antar Subholding karena masing-masing memiliki KPI dan target profit yang harus tercapai.

Dengan adanya komposisi direksi PT Pertamina (Persero) yang di dalamnya hanya terdapat Direktur Utama, Direktur SDM, Direktur Keuangan, Direktur Penunjang Bisnis, Direktur Logistik & Infrastruktur serta Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Bisnis. Serta tidak ada lagi Direktur Hulu, Direktur Pengolahan ataupun Direktorat Pemasaran yang justru merupakan inti bisnis Pertamina, Dirinya menyakini kalau nanti Direksi Holding Pertamina bisa diisi dengan orang yang tidak paham bisnis Migas, sehingga keputusan-keputusannya justru bisa membahayakan perusahaan.

Selain itu, tambahnya, struktur organisasi Subholding juga akan berpotensi mengabaikan peran negara dalam mengkontrol kebutuhan energi masyarakat, karena kendali ada pada swasta/publik selaku pemegang saham dan berlaku hukum pasar.

“Dari kesemua hal tersebut dampak kerugian yang paling besar justru akan dirasakan oleh rakyat Indonesia yang seharusnya memiliki 100% saham dan kontrol atas Pertamina, yang mungkin terjadi harga jual BBM dan elpiji semakin tidak terkendali dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Karena itu kami meminta kepada Bapak Presiden RI Joko Widodo c.q Menteri BUMN untuk Mencabut dan membatalkan serta menghentikan pembentukan Holding – Subholding dan IPO Pertamina,” pintanya.

Oleh karena itu, dirinya menyatakan, hingga saat ini seluruh Aktivis SP FKPPA yang berada di darat, laut dan seluruh Nakhoda bersama Crew Kapal Milik Pertamina dalam status siaga satu.

“Apabila permintaan kami tidak dihiraukan oleh Pengambil Kebijakan, maka kami siap mengambil langkah-langkah aksi industrialisasi di bawah komando Federasi serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). Dan kepada seluruh rakyat Indonesia, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya bilamana aksi industrialisasi kami menimbulkan kekhawatiran dan ketidaknyamanan. Langkah ini kami anggap perlu guna menjaga keberlangsungan bisnis Pertamina dan kedaulatan energi Indonesia, sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku,” tandasnya.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *