Opini:
Prof. Dr. Juajir Sumardi, SH.MH.
(Ketua Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Pembangunan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin Makassar)
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR ternyata pada klaster energi minyak dan gas
bumi substansinya berpotensi mendegradasi eksistensi kedaulatan negara terhadap pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi, serta berpeluang mempertahankan status quo pengusahaan minyak dan gas bumi oleh Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Norma yang terdapat pada Pasal 41A Ayat (2) RUU Cipta Kerja megatur: “Pemerintah Pusat sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dapat membentuk atau menugaskan Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi”. Jika
substansi Pasal ini dikaji, maka tidak ada kewajiban bagi Pemerintah Pusat untuk membentuk Badan Usaha Milik Negara Khusus yang akan melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Tidak adanya kewajiban untuk membentuk Badan Usaha Milik Negara Khusus dimungkinkan oleh adanya frasa “dapat membentuk” yang terdapat pada substansi Pasal 41A Ayat (2) tersebut. Dengan demikian, jika Pemerintah Pusat nantinya menunda pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus yang melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dengan berbagai alasan dan kepentingan politik, maka berdasarkan Pasal 41A Ayat (2) Pemerintah Pusat tidak dapat dipersalahkan.
Jika Pemerintah Pusat ternyata melakukan penundaan atas pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus yang ditugasi untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, maka berdasarkan Pasal 64A Ayat (1) kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi tetap dilaksanakan oleh SKK Migas. Adapun substansi dari Pasal 64A Ayat (1) di dalam RUU Cipta Kerja untk klaster energy migas adalah sebagai berikut: “Sebelum terbentuknya Badan Usaha Milik Negara
Khusus: (a) kegiatan usaha hulu migas tetap dilaksanakan berdasarkan kontrak kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap; (b) kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi dengan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap tetap berlaku; dan (c) Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tetap melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi”.
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 64A Ayat (1) di atas, terbuka peluang bagi Pemerintah Pusat (Presiden) untuk melakukan
penundaan pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus dan mempertahankan status quo SKK Migas sebagai Badan/Lembaga yang
ditugasi untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.Jika Pemerintah Pusat tetap mempertahankan status quo SKK Migas sebagai pihak yang mewakili Pemerintah Pusat dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, berdasarkan pada Pasal 41A Ayat (2) dan Pasal 64A Ayat (1) RUU Cipta Kerja Klaster Energi Minyak dan Gas Bumi, maka dapat dipastikan bahwa RUU Cipta Kerja telah mendegradasi hakikat kedaulatan negara terhadap pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diamanahkan oleh UUD-1945, dan juga tidak memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 36/PUU-X/2012.
Perlu dipahami bahwa Legal Standing dari SKK Migas bukanlah Badan Hukum yang berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara. Status hukum SKK Migas sebenarnya adalah Pemerintah itu sendiri sebagaimana pembentukan SKK Migas berdasarkan Peraturan Presiden Nomor: 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Dengan legal standing atau status hukum dari SKK Migas sebagai bagian dari badan hukum pemerintah, maka konsekuensi hukumnya
adalah tidak adanya pemisahan dan/atau pembatasan tanggungjawab antara SKK Migas dengan Pemerintah Pusat (dalam hal ini Presiden). Berdasarkan prinsip kesederajatan para pihak dan asas pacta sun servanda di dalam hukum kontrak nasional dan internasional, maka kontrak kerja sama yang dibangun oleh SKK Migas dengan Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (K3S) telah mendegradasi hakikat kedaulatan negara, sehingga terbuka peluang Pemerintah Pusat dapat menanggung
risiko pertanggungjawaban atas kontrak-kontrak yang dibuat oleh SKK Migas, bahkan APBN kita dan asset-asset negara yang ada di luar negeri dapat menjadi pertanggungan atas kerugian yang dialamai oleh K3S akibat adanya “breach of contract” yang dilakukan oleh SKK Migas.
Untuk membentuk Badan Usaha Milik Negara Khusus yang baru dengan penugasan melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi akan berkonsekuensi pada penyediaan permodalan, sarana dan prasarana (asset atau equity), serta sumber daya manusia yang professional dengan pengalaman yang panjang. Oleh karena itu, pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus oleh Pemerintah akan menyedot dan/atau menggunakan APBN yang tidak kecil, sehingga dapat dipastikan pembentukan BUMN Khusus tersebut berpotensi tertunda dalam waktu yang tidak dapat dipastikan. Disinilah akan membuka
peluang terjadinya “status quo” dengan memerankan SKK Migas untuk melanjutkan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap UUD-1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, serta memenuhi syarat efisiensi dan
efektivitas dalam pengusahaan hulu minyak dan gas bumi, maka saya pribadi menyarankan sebaiknya Pemerintah Pusat menetapkan dan
meningkatkan status hukum PT. (Persero) Pertamina menjadi Badan Usaha Milik Negara Khusus yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pertimbangan saya adalah, Pertamina telah
memiliki asset, jaringan, teknologi, dan sumberdaya manusia yang berpengalaman panjang sehingga pemerintah pusat tidak harus
menguras APBN untuk pendirian BUMN Khus baru. Pemerintah Pusat tinggal melakukan restrukturisasi organisasi dan manajemen organsisasi yang berbasis pada prinsip “good corporate governance” dengan visi
menjadikan Pertamina sebagai BUMN Khusus Migas yang handal dan
berskala global.