Jakarta, MinergyNews– Implementasi biodiesel di Indonesia berjalan sukses dan telah menjadikan Indonesia sebagai pionir dalam pemanfaatan biodiesel dengan penerapan B30 pada tahun 2020. Nilai ekonomi dari implementasi B30 pada tahun 2021 mencapai lebih dari US$4 miliar dan berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 25 juta CO2e.
“Program pengembangan biodiesel di Indonesia mencapai tonggak penting pada tahun 2006 dengan menerapkan 2,5% pencampuran bahan bakar solar. Ini termotivasi melambungnya harga minyak akibat menipisnya pasokan minyak dunia. Di sisi lain, Indonesia memiliki cadangan minyak sawit yang melimpah. Dari titik itu, kecepatan pencampuran secara bertahap meningkat,” ungkap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif ketika menjadi pembicara pada “3rd Palm Biodiesel Conference” di Sheraton Hotel, Yogyakarta, Kamis (24/3). Kegiatan ini merupakan bagian dari Energy Transitions Working Group (ETWG) 1, Presidensi G20 Indonesia.
Arifin mengakui, implementasi mandatori biodiesel yang melibatkan banyak pemangku kepentingan bukan tanpa tantangan. Oleh karena itu, sebelum program dilaksanakan, harus dipastikan terpenuhinya tiga kriteria utama yaitu layak secara teknis, dapat diandalkan secara ekonomi dan dapat diterima secara politik, serta komitmen dari semua pihak.
Meski pelaksanaan mandatori B30 membanggakan, namun Pemerintah tidak berpuas diri. Rencananya, tingkat pencampuran akan dinaikkan dengan menerapkan bahan bakar hijau. “Studi komprehensif sedang dilakukan, termasuk mempersiapkan studi tekno-ekonomi, regulasi, kerangka kerja, fasilitas insentif, infrastruktur, pengaturan kualitas standar produk, serta mengembangkan industri pendukung,” lanjut Menteri ESDM.
Pemerintah juga telah berhasil melakukan uji terbang dengan menggunakan bioavtur 2,4% sebagai upaya pengurangan emisi di sektor penerbangan.
“Terkait keprihatinan dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dan UNFCC untuk mengurangi emisi dalam penerbangan internasional sektor, Pemerintah dan pemangku kepentingan telah berhasil melakukan uji terbang menggunakan 2,4% bioavtur. Keberhasilan ini meningkat kepercayaan diri dan antusiasme kami untuk mendorong komersialisasi bioavtur,” lanjut dia.
Biodiesel sebagai alternatif untuk bahan bakar fosil memiliki peran strategis karena berpengaruh positif dalam berbagai aspek. Biodiesel yang dihasilkan dari sumber terbarukan ini, memberikan nilai tambah melalui hilirisasi industri pertanian dalam negeri, menstabilkan harga CPO dan meningkatkan kesejahteraan petani kecil.
Selain itu, emisi GRK yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan bahan bakar fosil, mengurangi impor BBM, menghemat devisa negara, membuka lapangan kerja, serta menjaga ketahanan energi nasional.
Pemerintah meyakini kebutuhan bahan bakar nabati berbasis kelapa sawit sangat besar dan akan terus berkembang. Namun demikian, pembangunan harus tidak bertentangan dengan pangan, pakan dan pupuk, serta menghindari pembukaan lahan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
“Ini membutuhkan cara-cara inovatif yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi proses produksi, menghasilkan bahan bakar berkualitas baik dengan harga terjangkau, meningkatkan dukungan terhadap lingkungan dan kesejahteraan petani,” tutup Menteri Arifin.